Bu DP pernah kirimi aku email ini, sayang kalo dibuang, bagus untuk sesekali dibaca ulang :
Seorang lelaki berniat untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah.
Seorang nenek yang merasa iba melihat kehidupannyamembantunya dengan
membuatkan sebuah pondok kecil dan memberinya makan,sehingga lelaki itu
dapat beribadah dengan tenang.
Setelah berjalan selama 20 tahun, si nenek ingin melihat kemajuan yang
telah dicapai lelaki itu. Ia memutuskan untuk mengujinya dengan seorang
wanita cantik. ''Masuklah ke dalam pondok,'' katanya kepada wanita itu,
''Peluklah ia dan katakan 'Apa yang akan kita lakukan sekarang'?''
Maka wanita itu pun masuk ke dalam pondok dan melakukan apa yang disarankan
oleh si nenek. Lelaki itu menjadi sangat marah karena tindakan yang tak
sopan itu. Ia mengambil sapu dan mengusir wanita itu keluar dari pondoknya.
Ketika wanita itu kembali dan melaporkan apa yang terjadi, si nenek menjadi
marah. ''Percuma saya memberi makan orang itu selama 20 tahun,'' serunya.
''Ia tidak menunjukkan bahwa ia memahami kebutuhanmu,
tidak bersedia untuk membantumu ke luar dari kesalahanmu. Ia tidak perlu
menyerah pada nafsu, namun sekurang-kurangnya setelah sekian lama beribadah
seharusnya ia memiliki rasa kasih pada sesama.''
Apa yang menarik dari cerita diatas? Ternyata ada kesenjangan yang cukup
besar antara taat beribadah dengan memiliki budi pekerti yang luhur. Taat
beragama ternyata sama sekali tak menjamin perilaku seseorang.
Ada banyak contoh yang dapat kita kemukakan disini. Anda pasti sudah
sering mendengar cerita mengenai guru mengaji yang suka memperkosa muridnya.
Seorang kawan yang rajin shalat lima waktu baru-baru ini di PHK dari
kantornya karena memalsukan dokumen. Seorang kawan yang berjilbab rapih
ternyata suka berselingkuh. Kawan yang lain sangat
rajin ikut pengajian tapi tak henti-hentinya menyakiti orang lain.
Adapula kawan yang berkali-kali menunaikan haji dan umrah tetapi terus
melakukan korupsi di kantornya.
Lantas dimana letak kesalahannya? Saya kira persoalan utamanya adalah pada
kesalahan cara berpikir. Banyak orang yang memahami agama dalam pengertian
ritual dan fiqih belaka. Dalam konsep mereka, beragama berarti melakukan
shalat, puasa, zakat, haji dan melagukan (bukannya membaca) Alquran.
Padahal esensi beragama bukan disitu. Esensi beragama justru pada budi
pekerti yang mulia.
Kedua, agama sering dipahami sebagai serangkaian peraturan dan larangan.
Dengan demikian makna agama telah tereduksi sedemikian rupa menjadi
kewajiban dan bukan kebutuhan. Agama diajarkan dengan pendekatan hukum
(outside-in), bukannya dengan pendekatan kebutuhan dan Komitmen
(inside-out). Ini menjauhkan agama dari makna sebenarnya yaitu sebagai
sebuah sebuah cara hidup (way of life), apalagi cara berpikir (way of
thinking).
Agama seharusnya dipahami sebagai sebuah kebutuhan tertinggi manusia.
Kita tidak beribadah karena surga dan neraka tetapi karena kita lapar
secara rohani. Kita beribadah karena kita menginginkan kesejukan dan
kenikmatan batin yang tiada taranya. Kita beribadah karena rindu untuk
menyelami jiwa sejati kita dan merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian
kita. Kita berbuat baik bukan karena takut tapi karena kita tak ingin
melukai diri kita sendiri dengan perbuatan yang jahat.
Ada sebuah pengalaman menarik ketika saya bersekolah di London dulu.
Kali ini berkaitan dengan polisi. Berbeda dengan di Indonesia, bertemu
dengan polisi disana akan membuat perasaan kita aman dan tenteram.
Bahkan masyarakat Inggris memanggil polisi dengan panggilan kesayangan:
Bobby.
Suatu ketika dompet saya yang berisi surat-surat penting dan sejumlah uang
hilang. Kemungkinan tertinggal di dalam taksi. Ini tentu membuat saya agak
panik, apalagi hal itu terjadi pada hari-hari pertama saya tinggal di
London. Tapi setelah memblokir kartu kredit dan sebagainya, sayapun
perlahan-lahan melupakan kejadian tersebut. Yang menarik, beberapa hari
kemudian, keluarga saya di Jakarta menerima surat dari kepolisian London
yang menyatakan bahwa saya dapat mengambil dompet tersebut di kantor
kepolisian setempat.
Ketika datang kesana, saya dilayani dengan ramah. Polisi memberikan dompet
yang ternyata isinya masih lengkap. Ia juga memberikan kuitansi resmi
berisi biaya yang harus saya bayar sekitar 2,5 pound. Saking gembiranya,
saya memberikan selembar uang 5 pound sambil mengatakan,
''Ambil saja kembalinya.'' Anehnya, si polisi hanya tersenyum dan memberikan
uang kembalinya kepada saya seraya mengatakan bahwa itu bukan haknya.
Sebelum saya pergi, ia bahkan meminta saya untuk mengecek dompet itu
baik-baik seraya mengatakan bahwa kalau ada barang yang hilang ia bersedia
membantu saya untuk menemukannya.
Hakekat keberagamaan sebetulnya adalah berbudi luhur. Karena itu orang yang
''beragama'' seharusnya juga menjadi orang yang baik. Itu semua ditunjukkan
dengan integritas dan kejujuran yang tinggi serta kemauan untuk menolong
dan melayani sesama manusia.
Kamis, 31 Juli 2008
Selasa, 29 Juli 2008
Perspektif baru tentang perceraian
Baru baca email dari si Man. Isinya adalah tulisan Dewi Lestari (penyanyi dan penulis novel) tentang perceraiannya dengan Marcell (penyanyi juga)-tampaknya tulisan ini diambil dari blog Dewi Lestari. Tulisan dan perspektif yang menarik.
Namun ada yang mengganjal dihatiku. Aku bisa mengerti, bahwa lahir-mati, jumpa-pisah itu dikatakan 'kedua sisi itu melengkapi bagai dua muka dalam satu koin. Hadir sepaket tanpa bisa dipisah.'
Tapi apakah bisa dikatakan kawin-cerai itu juga dua muka dalam satu koin, yang artinya disetiap perkawinan akan berujung perceraian? Perceraian disini yang dimaksud adalah cerai dalam konteks perkawinan -bukan cerai berarti pisah milik paket jumpa-pisah, atau lahir-mati. Karena konteks itulah yang terjadi pada Dewi-Marcell.
Apakah perceraian itu adalah takdir, atau hanya sekedar salah satu jalan yang kita pilih, sebagaimana jalan-jalan lain yang telah pernah kita pilih.
Benar-benar satu penjelasan baru, dan unik untuk sebuah perceraian.
Lagipula aku sudah bosan dengan alasan 'ketidak-cocokan'. Jadi, whatever-lah.
Namun ada yang mengganjal dihatiku. Aku bisa mengerti, bahwa lahir-mati, jumpa-pisah itu dikatakan 'kedua sisi itu melengkapi bagai dua muka dalam satu koin. Hadir sepaket tanpa bisa dipisah.'
Tapi apakah bisa dikatakan kawin-cerai itu juga dua muka dalam satu koin, yang artinya disetiap perkawinan akan berujung perceraian? Perceraian disini yang dimaksud adalah cerai dalam konteks perkawinan -bukan cerai berarti pisah milik paket jumpa-pisah, atau lahir-mati. Karena konteks itulah yang terjadi pada Dewi-Marcell.
Apakah perceraian itu adalah takdir, atau hanya sekedar salah satu jalan yang kita pilih, sebagaimana jalan-jalan lain yang telah pernah kita pilih.
Hubungan yang kadaluarsa. Perkembangan yang akhirnya membawa kami ke titik perpisahan.
Benar-benar satu penjelasan baru, dan unik untuk sebuah perceraian.
Lagipula aku sudah bosan dengan alasan 'ketidak-cocokan'. Jadi, whatever-lah.
Korupsi... termasuk kebudayaan??
Morning-morning, bosku pak JC sudah 'nyamperin' meja bu DP -yang memang dikenal sebagai 'curhat counter', tempat semua orang numpahin uneg-uneg, mulai dari OB sampai BB (biggest boss)-. Beliau 'ngejembrengin' halaman pertama KOMPAS, yang memuat tentang terkuaknya korupsi 52 anggota DPR. (Cuma 52? komentarku).
Menurut bu DP, mungkin buat ke 52 orang itu -dan lainnya yang tidak dimuat di Kompas, mungkin termasuk ente- apa yang mereka lakukan tidak disadari sebagai korupsi, cuma sudah kebiasaan turun-temurun dari pejabat terdahulu. Jadi sudah menjadi semacam budaya gitu lah.
Kamu sendiri, kalau kebetulan baru saja diangkat menduduki jabatan baru, terus ada orang datang mengirim upeti, sambil bilang "Terima aja pak, biasa kok, bapak yang dulu juga biasa begini", apa kamu akan menolak? Kan gak minta, wong dikasih kok..
Memang harus ada batasan yang jelas, mana yang termasuk korupsi, mana yang bukan.
Dan hukumannya harus berat. Minimal seumur hidup.
Tapi siapa yang berani membuat peraturan? Bisa jadi yang sebenarnya berkuasa membuat peraturan ternyata punya pikiran begini, 'Kalau aku sendiri yang terkena hukum ini bagaimana?'.. Karena, siapa sih yang berani mengaku dirinya bersih samasekali dari aroma korupsi?
Menurut bu DP, mungkin buat ke 52 orang itu -dan lainnya yang tidak dimuat di Kompas, mungkin termasuk ente- apa yang mereka lakukan tidak disadari sebagai korupsi, cuma sudah kebiasaan turun-temurun dari pejabat terdahulu. Jadi sudah menjadi semacam budaya gitu lah.
Kamu sendiri, kalau kebetulan baru saja diangkat menduduki jabatan baru, terus ada orang datang mengirim upeti, sambil bilang "Terima aja pak, biasa kok, bapak yang dulu juga biasa begini", apa kamu akan menolak? Kan gak minta, wong dikasih kok..
Memang harus ada batasan yang jelas, mana yang termasuk korupsi, mana yang bukan.
Dan hukumannya harus berat. Minimal seumur hidup.
Tapi siapa yang berani membuat peraturan? Bisa jadi yang sebenarnya berkuasa membuat peraturan ternyata punya pikiran begini, 'Kalau aku sendiri yang terkena hukum ini bagaimana?'.. Karena, siapa sih yang berani mengaku dirinya bersih samasekali dari aroma korupsi?
Senin, 28 Juli 2008
Pelajaran dari Sponge Bob
Suatu hari, sponge bob akan mengikuti acara camping dengan kelompok pramuka. Saking lamanya bertangis-tangisan dengan patrick, karena sedih akan berpisah lama dengan sahabatnya itu, sponge bob ketinggalan kapal yang mengangkut rombongan pramuka. Sponge bob tidak menyadari itu, bahkan ketika ia keliru masuk ke kapal yang akan mengangkut narapidana ke penjara di pulau terpencil. Setiap perlakuan penjaga penjara dianggapnya hanya bagian dari permainan dalam acara pramuka. Semuanya dilakukan dengan penuh kesenangan dan keceriaan. Ketika kakinya dirantai dan dipaksa bekerja pun dianggap suatu yang mengasyikan.
Sampai disini, pelajaran apa yang bisa diambil dari cerita sponge bob ini?
Sampai disini, pelajaran apa yang bisa diambil dari cerita sponge bob ini?
Jumat, 25 Juli 2008
Namanya juga Waton Nulis....
You know what is 'waton nulis'... terjemahannya ya asal nulis aja. Semua uneg-uneg, kilatan pikiran, gerundelan sesaat, ide, ilham, apa aja. Sekali waktu, bisa saja tulisanku cukup ndeso, kadang sok bijak, lain waktu bergaya bak intelektual.
Intinya ya itu tadi, tulis aja, daripada dipendam jadi bisul.
Salut dengan pencipta blog, ajang kebebasan menulis, bebas berpendapat, tanpa perlu bertabrakan dengan kebebasan orang lain. Kalo ga suka dengan yang tertulis di blog, ya ga usah dibaca. Mau komen, silakan, ga perlu sampe adu jotos. Mau maki-maki di area komen, silakan, paling-paling nanti di-delete sama yang punya blog. Gampang kan. Gitu aja kok repot...
Kalau ada yang terprovokasi dengan tulisan di blog, yah itu juga kebebasan si pembaca blog sendiri untuk menentukan sikapnya. Sudah bisa baca blog, semoga sudah cukup dewasa.
Kupikir, itu resiko kalau kita bisa membaca pikiran orang lain. Ngeri-ngeri sedep. Makanya, kita latihan dulu dengan baca blog, yang kurang lebih adalah ungkapan isi kepala orang. Jadi, ntar suatu saat, jaman kita sudah bisa semakin memaksimalkan kemampuan otak, sehingga komunikasi pake gelombang pikiran sudah jamak, kita ga 'katro' lagi kalo tau apa yang dipikir orang. Ga perlu gelut hanya karena berbeda.
Kemaren baru baca tentang kekuatan pikiran / otak manusia. Kupikir, suatu ketika, kemampuan telepathy, telekinetik, bukanlah bakat orang-orang tertentu, melainkan sebuah ilmu yang bisa dipelajari. Saat manusia sudah berhasil menemukan cara bagaimana memakai sebanyak mungkin kemampuan otak manusia.
Allahu akbar...
Intinya ya itu tadi, tulis aja, daripada dipendam jadi bisul.
Salut dengan pencipta blog, ajang kebebasan menulis, bebas berpendapat, tanpa perlu bertabrakan dengan kebebasan orang lain. Kalo ga suka dengan yang tertulis di blog, ya ga usah dibaca. Mau komen, silakan, ga perlu sampe adu jotos. Mau maki-maki di area komen, silakan, paling-paling nanti di-delete sama yang punya blog. Gampang kan. Gitu aja kok repot...
Kalau ada yang terprovokasi dengan tulisan di blog, yah itu juga kebebasan si pembaca blog sendiri untuk menentukan sikapnya. Sudah bisa baca blog, semoga sudah cukup dewasa.
Kupikir, itu resiko kalau kita bisa membaca pikiran orang lain. Ngeri-ngeri sedep. Makanya, kita latihan dulu dengan baca blog, yang kurang lebih adalah ungkapan isi kepala orang. Jadi, ntar suatu saat, jaman kita sudah bisa semakin memaksimalkan kemampuan otak, sehingga komunikasi pake gelombang pikiran sudah jamak, kita ga 'katro' lagi kalo tau apa yang dipikir orang. Ga perlu gelut hanya karena berbeda.
Kemaren baru baca tentang kekuatan pikiran / otak manusia. Kupikir, suatu ketika, kemampuan telepathy, telekinetik, bukanlah bakat orang-orang tertentu, melainkan sebuah ilmu yang bisa dipelajari. Saat manusia sudah berhasil menemukan cara bagaimana memakai sebanyak mungkin kemampuan otak manusia.
Allahu akbar...
Langganan:
Postingan (Atom)